Rafathar

Saat ini Rafathar menjadi buah bibir warganet di dunia maya. Hal tersebut dikarenakan ada berita yang mengatakan Rafathar tidak mau syuting lagi dan ingin hidup tanpa kamera. Karena masalah itu, warganet menganggap Raffi Ahmad, orang tuanya Rafathar, bukan orang tua yang baik. Banyak yang mengatakan Raffi orang tua yang toxic, memanfaatkan Rafathar untuk mendapatkan uang, dan tidak mau mendengarkan keluhan anaknya.

Saya sendiri mengetahui masalah Rafathar ini cukup lama. Dulu ada cuplikan video yang isinya Rafathar "mengeluh" ke Nagita, ibunya Rafathar, kalau dia tidak suka di-prank oleh orang tuanya. Namun saat itu reaksi Nagita hanya tertawa melihat anaknya cemberut. Mungkin banyak yang menganggap cuplikan video tersebut lucu karena tingkah laku Rafathar, namun saya sendiri melihatnya kasihan. Rafathar masih anak-anak dan omongan dia tidak didengar orang tuanya, bukannya ini malah menumbuhkan rasa tidak percaya kepada orang tuanya? Lebih bahaya lagi kalau Rafathar tidak percaya diri lagi karena merasa omongan dia tidak dianggap.

Dengan tingkah laku Raffi dan Nagita yang seperti itu, pantaskah kita mengatakan kalau mereka orang tua yang jahat atau toxic? Saya rasa tidak. Saya banyak tidak setuju dengan parenting Raffi dan Nagita seperti tidak menjaga privasi keluarganya dan memberikan Rafathar mobil Alphard sebagai hadiah lulus dari PAUD. Walau begitu, mereka juga tetap memberikan yang terbaik kepada Rafathar. Seperti memberikan makanan yang enak dan bergizi, memberikan les piano dan bahasa inggris, serta privilej lain yang mungkin kita tidak pernah rasakan. Bad parenting? Iya. Orang tua yang toxic? Saya rasa itu berlebihan. 

Mungkin apa yang diberikan Raffi dan Nagita itu bukan yang diinginkan Rafathar. Rafathar hanya ingin bermain selayaknya anak kecil pada umumnya dan tidak mau kerja syuting yang merepotkan. Tapi bukannya kita juga pernah mengalami hal seperti ini? Terkadang orang tua merasa pilihannya baik untuk anaknya, padahal tidak selalu. Raffi dan Nagita menganggap privilej yang mereka miliki itu hal terbaik yang bisa mereka berikan. Mungkin hal tersebut sesuatu yang baik menurut kita, namun bagi Rafathar tidak.

Karena ilmu parenting yang kurang, banyak kasus clueless parents seperti yang dialami Rafathar ini. Kalau dipikir-pikir menjadi orang tua itu susah juga ya, bahkan lebih susah daripada belajar matematika. Karena kalau matematika kita pelajari dari TK, namun kalau ilmu parenting? Kapan kita belajarnya? Sepengetahuan saya sendiri, kita mendapatkan pembinaan pranikah selama 2 hari dari pagi sampai sore oleh KUA ketika mendaftarkan disana. Tapi apakah 2 hari itu benar-benar cukup? Saya rasa itu hanya formalitas saja, sehingga tidak cukup kalau belajar dari pembinaan pranikah saja.

Walau tidak ada jaminan keluarganya akan hidup bahagia, tidak ada salahnya untuk mempelajari ilmu parenting sejak dini. Lalu apakah hidup kita salah kalau baru belajar ilmu parenting setelah nikah? Tidak juga. Karena lebih baik telat daripada tidak sama sekali bukan? Selain itu, menjadi orang tua adalalah proses pembelajaran seumur hidup. Ketika anak kita sudah nikah dengan jodohnya pun kita tetap memiliki tanggung jawab untuk mendidiknya.

Comments