Posts

Larangan dan Pemahaman

Kenapa kita menggunakan helm saat mengendarai motor di jalan raya? Sebagian akan menjawab agar tidak ditilang, dan sebagian menjawab agar selamat apabila terjadi kecelakaan. Kenapa kita menggunakan masker di tempat umum? Sebagian akan menjawab agar tidak kena razia polisi, dan sebagian menjawab agar tidak terkena virus Covid-19. Patuh karena larangan, bukan karena pemahaman. Kalau seperti ini terus, harapan pandemi cepat selesai ya sebatas angan-angan saja.

1 Kejadian Saja

Setelah dipikir-pikir alasan saya bisa mengerjakan soal matematika atau memasak bukan karena bakat, melainkan karena kejadian sepele yang pernah saya alami. Pada saat masih SD, saya tidak terlalu bisa mengerjakan soal matematika. Singkat cerita, saat saya kelas 4 SD, saya pernah dihukum oleh guru matematika karena telat masuk kelas. Saya diminta untuk mengikuti pembelajaran dari luar kelas melalui jendela. Mungkin karena saya rabun jauh, saya yang masih kecil itu mencoba lebih fokus agar tulisan di papan tulis lebih terlihat. Pada saat diberikan soal matematika oleh guru, tidak ada anak di dalam kelas yang bisa menjawab pertanyaannya. Karena saya mengetahui jawabannya, saya memberanikan diri untuk menjawab dan jawaban saya benar. Pada saat itu saya berpikir "Loh matematika ko gampang ya?" Begitupun juga dengan memasak. Pada saat saya masih kecil, saya pernah diajak makan di restoran yang mewah oleh orang tua saya. Restoran tersebut sistemnya seperti prasmanan, bisa nambah mak

Rafathar

Saat ini Rafathar menjadi buah bibir warganet di dunia maya. Hal tersebut dikarenakan ada berita yang mengatakan Rafathar tidak mau syuting lagi dan ingin hidup tanpa kamera. Karena masalah itu, warganet menganggap Raffi Ahmad, orang tuanya Rafathar, bukan orang tua yang baik. Banyak yang mengatakan Raffi orang tua yang toxic , memanfaatkan Rafathar untuk mendapatkan uang, dan tidak mau mendengarkan keluhan anaknya. Saya sendiri mengetahui masalah Rafathar ini cukup lama. Dulu ada cuplikan video yang isinya Rafathar "mengeluh" ke Nagita, ibunya Rafathar, kalau dia tidak suka di- prank oleh orang tuanya. Namun saat itu reaksi Nagita hanya tertawa melihat anaknya cemberut. Mungkin banyak yang menganggap cuplikan video tersebut lucu karena tingkah laku Rafathar, namun saya sendiri melihatnya kasihan. Rafathar masih anak-anak dan omongan dia tidak didengar orang tuanya, bukannya ini malah menumbuhkan rasa tidak percaya kepada orang tuanya? Lebih bahaya lagi kalau Rafathar tidak

Tentang Menabung

Saya dikenal pelit atau kopet oleh kebanyakan teman saya. Padahal, yang saya lakukan adalah menggunakan uang seperlunya saja. Saya tidak membeli barang kecuali kalau benar-benar butuh. Saya juga jarang jajan di kampus dan hampir setiap hari membawa bekal agar bisa menghemat. Alasan saya bisa hidup seperti itu karena kebiasaan menabung saya. Pertamakalinya saya diberikan uang jajan secara rutin adalah ketika saya SMA, nominalnya 25 ribu perhari. Awalnya saya susah menabung karena setiap hari uang saya terpakai sekitar 15-20 ribu. Agar saya bisa menabung tanpa rasa terbebani, saya mencoba untuk membawa bekal sendiri. Hasilnya saya bisa memotong anggaran makan siang selama SMA. Pada saat saya kuliah, uang jajan yang diberikan naik menjadi 1.2 juta perbulan. Saya menghabiskan sekitar 500-700 ribu perbulannya saat awal-awal kuliah, dan sisanya ditabung. Namun setelah saya pikir-pikir, pengeluaran 500 ribu perbulan itu agak boros. Karena saya sering di kampus sampai malam, sehingga saya haru

Bakat yang Sama

Apakah pernah membayangkan kalau semisalnya Allah memberikan bakat yang sama kepada setiap manusia? Semua orang memiliki kemampuan matematika atau bernyanyi yang sama. Akan lebih adil apabila semuanya memulai dari titik yang sama bukan?  Dengan kondisi yang homogen seperti itu, usaha (dan tentunya privilej, namun tidak akan dibahas ditulisan ini) memegang peran yang penting. Apabila hanya usaha yang menjadi cerminan kemampuan kita, seperti apakah sosok kita? Untuk hal akademis, usaha saya mungkin tidak sebesar orang lain. Sehingga mungkin saja saya tidak sepintar saya yang sekarang. Namun beda cerita kalau masalah basket. Saya sedikit yakin dapat mewakili sekolah saya apabila melihat usaha latihan saya selama ini. Namun, sejujurnya saya takut kalau semua orang memiliki bakat yang sama. Karena saya tidak bisa lagi beralasan "tidak memiliki bakat" pada hal-hal yang saya tidak kuasai. Kalau tidak bisa, itu semuanya murni salah saya.  Dengan pertimbangan seperti itu, sepertinya a

"Aku memang seperti ini orangnya."

Adalah sangat curang kalau seseorang berbicara "aku memang seperti ini orangnya." Kenapa curang? Karena orang tersebut tidak melakukan usaha untuk memperbaiki diri, namun meminta orang lain menerima dia yang seperti itu. Padahal dia bisa mengubah dirinya, tapi berlindung dengan kalimat seperti itu. Sangat licik, sangat egois. Kira-kira seperti itu pemikiran saya yang dulu. Dulu saya pikir saya selalu bisa mengklasifikasikan sesuatu ke dalam hitam atau putih. Seperti pencuri selalu jahat, polisi selalu baik. Tapi ternyata ada juga pencuri yang terpaksa mencuri karena kondisi ekonomi, ada juga polisi yang korupsi. Begitu juga dengan kalimat "aku memang seperti ini orangnya." Ada oknum yang berlindung dibalik kalimat keramat itu tanpa usaha sedikitpun, ada juga orang yang sudah mencoba berubah namun belum terlihat hasilnya. Semakin tua, semakin menyadari kalau kita tidak bisa mengontrol orang lain. Sifat manusia sangat beragam, tentu ada keselarasan dan ketidakcocokan.